Nice Homework#3
Membangun Peradaban Dari Dalam Rumah
A. Jatuh
Cinta.....?
Itu frasa pertama yang menjadi
sebuah tanya, bahkan diawal tahun pertama pernikahan kami
Mengapa aku mesti jatuh cinta?
Dengan dia....?
Menikah dengannya berawal dari komitmen
meniadakan pacaran dalam prosesnya.
Berbekal Tarbiyah semenjak kuliah,
kami menyakini untuk menjaga diri
dan bercita-cita kelak akan melangsungkan pernikahan tanpa pacaran.
Maka ketika masa itu datang,
berbekal selembar proposal munakahat yang berisi biodata, kami maju menghadap
sang pemilik Cinta agar kelak ditumbuhakan rasa cinta dan dikuatkan azzam bahwa
pernikahan ini adalah setengah dari agama, termasuk amanah besar, penyiapkan generasi bagi batu bata peradaban.
Hanya dalam hitungan bulan, tepatnya
3 bulan dari proposal di tangan kami hingga proses akad nikah.
Tidak takut...? Bagimana bisa yakin
hanya berbekal tulisan biodata?
Istiqoroh itu menyakinkan kami,
juga Tarbiyah diri menjadi bekal bahwa selama ini kami dididik menjadi pribadi
yang beraqidah secara benar juga berakhlak baik.
Hingga akhirnya, aku memiliki
alasan kuat kenapa harus jatuh cinta padanya
Dia adalah lelaki sederhana, dengan
prinsip hidup yang kuat. Sabar dan sangat lembut kepada istri.
Mampu berperan sebagai Suami, ayah,
pemimpin dan pendidik yang baik bagi kami, istri dan anak-anaknya.
Anak kami yang bungsu pernah
berujar, “ Bun, kalau tidak ada Abi aku yang jadi pemimpin di rumah ini ya.”
Si 7 tahun itu bisa merasakan
bagaimana Abi nya menjadi pemimpin di rumah.
Mengirim surat bukan hal yang tabu
bagi kami, di moment tertentu seperti milad pernikahan atau hari lahir semacam
hari ibu atau ayah kami saling mengapresiasi.
Desember kemarin saya berbinar
membaca tulisan seperti ini di kirim via WA
“Selamat hari Ibu. Terima kasih telah
menjadi Ibu yang baik untuk anak-anak kita”
Suatu saat, air mata yang berderai-derai ketika tak
sengaja bersih-bersih eMail dan menemukan sebait syair tertanggal hari pernikahan
kami,
“
..... Abi berharap kita terus bersama
Mungkin
kamu tidak pernah tinggal dirumah yang mewah
Mungkin
kamu tidak akan pernah mengendarai mobil pribadi
Kok
suka berbagi dengan orang lain..? Saudara..?
Berwaqaf buat panti asuhan..? Juga ingin
membangun ini dan itu..?
Kita
kan juga butuh
Percayalah,
Abi sedang membangun istana untukmu di surga
Percayalah,
Abi sedang mengumpulkan perhiasan dan kendaraan mewah untukmu
Percayalah,
kalau ada kenikmatan lebih, kamu lebih Abi utamakan daripada diri Abi sendiri
Terima
kasih kekasihku
Semoga
kita bisa menyelesaikan misi kita di dunia dengan ihsan.”
Aku melihat cintanya yang tulus,
aku merasakan dia sedang mendidikku untuk tidak terlalu cinta pada dunia dan
tengelam dalam kenikmatan dunia yang semu, dia selalu mengingatkan misi hidup
kami.
Yah....kami punya misi dan visi
dalam hidup ini.
B. Anak-anakku....
Permataku......
Mengambarkan
satu-persatu bagai membuka lembaran buku, selain secara jumlah banyak : 7 orang juga sifat yang unik dan spesifik masing-masing anak.
1.
Si
Sulung, perempuan yang dewasa...penuh kasih sayang, pengayom adik-adiknya, cerdas seperti nama yang disematkan padanya
“Aisyah” dengan harapan dia meneladani Bunda Aisyah Ra, cepat menguasai bahasa
asing, mudah beradaptasi dan banyak teman.
2.
Lelaki
tengah pertama ini pemalu tapi punya magnet tersendiri...bagaimana tidak,
kehadirannya mampu menarik teman-temannya. Bahkan sekelas preman yang keluar
masuk penjara, bisa dibawanya ke masjid, belajar agama. Seperti namanya, suka
memberi nasehat. Hafalan Qur’annya sudah 75% dan semoga segera selesai.
3.
Lelaki
tengah kedua, sempurna....otak kanan kirinya seimbang, kreatif, pantang
menyerah dan penuh ide, peduli dan ringan tangan (suka menolong)
4.
Gadis
tengah pertama ini, mewarisi kesederhanaan Abi, patuh, tidak neko-neko, lapang
dada, selalu penuh pertimbangan ketika meminta sesuatu, “Mahal tidak, Abi punya
uang tidak”.
5.
Gadis
tengah kedua, banyak berbeda dari yang lain, sakit keras waktu kecil membuatnya
lambat berbicara, butuh banyak kesabaran memahaminya, rapi dan terorganisir
serta suka membaca.
6.
Lelaki
tengah ketiga, paling cerdas kinestetiknya, nyalinya luar biasa, empatinya
tinggi, selalu mendahulukan orang tuanya, unik : tidak pernah mau pesan makanan
ketika kita makan diluar hanya karena tidak ingin uang Abinya habis, mudah
menghafal Qur’an.
7.
Lelaki
bungsu, cerdas tapi pemalu hingga tidak mau sekolah. Suka belajar, suka mencoba
sesuatu, mudah mengharu biru dan suka menolong.
C. Terlepas
dari kekurangan ada banyak kelebihan, maka jika saja ada pilihan ingin terlahir
dari siapa di dunia ini... maka akan kujawab : IBU dan BAPAKKU
Mereka orang yang telah merasakan
kesulitan hidup dan benyak berjuang dalam hidup ini, membesarkan kami dengan
kasih sayang.
Bahkan saat terakhir, sebelum Bapak
meninggal beliau sempat berkata,” Bapak bahagia melihat kalian, bukan dengan
keberhasilan secara materi yang kalian perlihatkan, tapi melihat kalian taat dalam
agama dan berprilaku baik. Orang tuaku yang sederhana, Bapak dan Ibu guru di
sebuah kampung, puluhan kilometer dari kota itu adalah orang tua sekaligus guru
bagi kami anak-anaknya. Pendidik pertama, yang membentuk karakter kami.
Bersyukur, meski masa kecilku
diwarnai dengan kebandelan ala anak-anak...tapi tak pernah ada teman, tetangga
dan guru yang mengeluhkan prilaku kami.
Meski dengan kenakalan yang melebihi
ketiga adik-adik, Bapak dan Ibu mengakui bahwa hal yang menonjol pada diriku
adalah Pengertian, mampu berempati dan menjadi “pendingin”.
AC kali’...
Bukan sih, saat mulai dewasa, bisa menjadi tempat curhat Ibu maupun Bapak ketika mereka sedang bermasalah, dan Ibu selalu bilang, “ Kowe kuwi iso ngadem-ademin Nduk.”
Bukan sih, saat mulai dewasa, bisa menjadi tempat curhat Ibu maupun Bapak ketika mereka sedang bermasalah, dan Ibu selalu bilang, “ Kowe kuwi iso ngadem-ademin Nduk.”
Setelah kami dewasa, setiap ada
masalah, adik-adik akan membicarakan terlebih dahulu denganku sebelum ke Orang
Tua karena kami tak ingin menjadi beban pikiran mereka.
Ketika Bapak meninggal, praktis jadi
tempat berbagi pikiran bagi Ibu dan adek-adek.
“Mbak itu sudah seperti Bapak sekaligus
Ibu bagiku” ujar si adek Bungsu
“Kamu itu.....
Pintar
Ceria
Mudah akrab
Sederhana
Taat orangtua
Suka Ilmu Pengetahuan, kata Suami.”
Bahagia, satu kata yang mewakili
perasaan hingga kini terhadap peranku sebagai Istri, Ibu, anak dan saudara.
Mendampingi pria, yang dalam hidupnya tidak ingin
berlebih-lebihan dalam harta membuatku banyak belajar arti kata ihklas. Merasakan
bagaimana dulu orang tua, saling membantu dengan saudaranya, mengasuh anak yatim
dirumah kami membuatku easy going saja ketika suami membantu saudara dan orang
lain.
Selalu merasa cukup.
Terlahir sebagai anak sulung,
membuatku mudah berkasih sayang, begitulah akhirnya Allah takdirkan menjadi Ibu
dengan 7 orang anak, dan dengan ini Allah juga menuntun untuk lebih banyak
belajar menjadi Ibu yang baik.
Inilah kehendak Allah, dan Allah
tidak memberi beban diluar kemampuan hambanya. Alhamdulillah, sudah dipilih
olehNya bertemu dengan suami dan diamanahkan anak-anak yang luar biasa.
D. Sewaktu
kecil, Bapak suka bercerita tentang petualangan hidupnya di beberapa daerah.
Seru, hingga si anak kecil ini
terpesona. Anak kecil yang lahir di desa nun jauh dipelosok. Bukan, bukan
karena tidak suka tinggal di desa yang akhirnya membawa anak kecil itu tinggal
jauh ratusan kilometer dari tanah kelahirannya.
Takdir mempertemukannya dengan
seseorang yang mendapat tugas keluar pulau Jawa. Dan akhirnya kami tinggal di
Kalimatan Timur ini, dari Samarinda hingga kini di Balikpapan.
Jauh dari keluarga, memang bukan
sesuatu yang mudah. Anak banyak,
kecil-kecil pula. Repot banget.
Alhamdulillah, silaturahmi yang baik dengan teman membuahkan kerabat
baru di tanah rantau ini.
Bahkan Khodimat kami, sudah
terhitung lama bersama kami seakan seperti saudara saja.
Demikian juga tetangga disekitar,
meski tinggal di komplek perumahan tak membuat kami eksklusif.
Masjid jadi center point, hingga
seperti rumah kedua.
Sedari kecil tempat main anak-anak
dan saling berinteraksi dengan anak-anak tetangga.
Jadi tak ada yang jadi kerisauan
kami.
Anak-anak tumbuh dalam frame agama
yang baik, kami berperan sebagai murrabi dan murrabiyah bukan hanya pada anak-anak
sendiri juga anak-anak tetangga.
“Bunda...”nya anak-anak sekampung.
Membina remaja masjid. Mengaji ,
mabit, baksos dan bahkan rihlah dan olah raga.
Diantara anak-anak itu kini ada
yang sudah dewasa dan menikah.
Tarbiyah dan da’wahku tak terhenti,
suami mendukung sepenuh hati.
Membentuk yayasan pendidikan,
dimana kami bisa membantu keluarga kurang mampu untuk bersekolah gratis, juga
membuka kesempatan kerja, selain guru karena di sekolah kami ada penitipan
anak, katering juga laundry.
Disini, ditempat tinggal kami saat
ini Allah memberi jalan untuk memaksimalkan peran, mungkin belum seberapa. Tapi
meski sebutir debu, tak akan luput dalam catatan kebaikan.
-------------------------
.
Komentar
Posting Komentar