Komunikasi Produktif : Meminta Maaf
Malam ini kami hanya berdua : Bunda dan Anak bungsunya karena Abi sedang dinas ke kantor pusat.
Setelah seharian beraktifitas, Bunda mengajar dan anak sekolah meski tidak penuh seperti biasa karena keinginannya mengantar Abi ke bandara.
Malam ini , Bunda ingin merefleksikan pengasuhan Bunda pada anak.
Kebetulan ada undangan parenting dari sekolah untuk Sabtu nanti. Sambil mengangsurkan undangan itu dia bertanya.
"Bun, parenting itu apa sih?"
"Kegiatan mengasuh dan mendidik anak," jawab Bunda sesederhana mungkin agar dimengerti anak.
"Seperti Bunda sama aku gitu ya?"
"Bener banget, jawab Bunda sambil menatap matanya dan memberi senyum semanis mungkin.
Lalu berpikir dan merefleksikan pengasuhan yang telah berlalu, Bunda jadi sadar banget kalau ternyata masih banyak kesalahan, tidak sabaran menghadapinya, sering marah dan cara berkomunikasi yang jauh dari komunikasi produktif.
Meminta maaf, aha...mungkin ini saat yang tepat. Bukankah beberapa hari ini Bunda sudah melatih berkomunikasi produktif, dan sekarang saatnya melatih meminta maaf.
Seperti yang dikatakan Don MacMannis, Ph.D Clinical Director Family Therapy Institute,
"Minta maaf pada anak tak lantas membuat orangtua menjadi sosok yang lemah, justru sebaliknya. Begitu mereka orangtuanya juga melakukan kesalahan dan mengakui, mereka akan belajar menjadi pribadi yang kuat."
Sikap bijak orang tua untuk meminta maaf kepada anak dianggap sebagai perilaku yang mendidik, selain orang tua lebih lega telah berbuat salah, juga sebagai sarana mendidik anak. Demikian yang ditulis oleh Kumparan.com
Lima alasan kenapa orang tua perlu meminta maaf
- Meminta maaf adalah cara mendidik anak
- Meminta maaf adalah contoh yang baik
- Meminta maaf bukan berarti untuk menyerah
- Meminta maaf merupakan bentuk saling menghargai
- Meminta maaf membuat diri menjadi lebih baik.
Kemudian kami duduk saling berhadapan dan saling menatap wajah.
"Adik, Bunda bahagia lho di asuh dan didik Eyang."
"Eyang suka marah nggak Bun?"
"Pernah bukan suka," jawab Bunda
"Ah iya, Bunda pernah cerita dulu di masukan ke kadang ayam sama Eyang, gara-gara Bunda nggak mau mandi sampai Maghrib ya."
"Iya...Adik masih ingat aja cerita Bunda,"jawab Bunda sambil tersenyum lebar dan antusias.
Dalam hati sudah sangat ingin menanyakan bagaimana Bunda menurut Adik, termasuk yang suka marah tidak ya....? Tapi mencoba menghindari kalimat interogasi.
"Maaf ya Dek, kalau Bunda juga pernah marah sama Adik," Bunda raih wajahnya dan menatap matanya dengan lembut.
"Iya Bun, eh tapi beberapa hari ini Bunda nggak pernah marah lagi lho."
Melonjak kegirangan, ini kan Bunda sudah belajar di kelas Bunda Sayang Dek..... Belajar komunikasi produktif, lagi. Kan adik yang seringnya marah sama Bunda malah...kata hati Bunda.
Hampir terlintas untuk mengucapkannya, Adik lho yang beberapa hari ini marah-marah. Sudah berapa kali marah seharian ini saja.
Tapi..no...no...no.
Setiap orang tak suka kesalahannya diungkit, anak pun demikian.
"Bunda...maaf juga ya, aku marah-marah juga beberapa kali."
"Iya Dek...sama-sama ya. Kita saling memaafkan."
Kamipun saling berjabat tangan dan berpelukan.
"Aku tuh nggak marah lho Bun, hanya ngasih tahu aja sih," sambungnya kemudian.
Gubrak....itu kan kata-kata Bunda beberapa tahun yang lalu kalau ngomong sama dia dengan nada keras dan dia ngambek karena Bunda marah. Sebagai alibi Bunda selalu bilang, "Bunda tuh nggak marah, hanya ngasih tahu."
Tobat deh.
Bener banget, anak adalah cermin kita.
#harike8
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar