Komunikasi Produktif : Mengenal Pasangan
Klien : " Kayaknya saya salah baca artikel deh Mas...."
Konselor: " Memangnya artikel tentang apa yg dibaca? "
Klien : 'Iya, waktu awal-awal menikah dulu saya sempat baca bahwa pria itu tidak akan pernah mengerti wanita. Jadinya saya selama 15 tahun terakhir ini tidak terlalu berusaha untuk mengenal siapa istri saya.."
Konselor: " Gubraaaak...!!!
Pantes klien itu diambang perceraian.
Konselor: " Memangnya artikel tentang apa yg dibaca? "
Klien : 'Iya, waktu awal-awal menikah dulu saya sempat baca bahwa pria itu tidak akan pernah mengerti wanita. Jadinya saya selama 15 tahun terakhir ini tidak terlalu berusaha untuk mengenal siapa istri saya.."
Konselor: " Gubraaaak...!!!
Pantes klien itu diambang perceraian.
Cuplikan dialog diatas saya ambil dari Buku : Menikah Untuk Bahagia yang ditulis oleh Indra Noveldy dan Nunik Hermawati yang sempat saya baca di tahun 2013 lalu.
Tak ada kata usai dalam mengenal pasangan kita, karena manusia adalah makhluk yang dinamis, dia bisa berubah sepanjang waktu perjalanan hidupnya.
Karenanya komunikasi yang intens harus selalu dilakukan oleh pasangan suami istri. Bisa jadi apa yang dulu tak disukai menjadi hal yang disukai kini.
Dengan komunikasi dan upaya saling mengenal terus menerus maka pasangan akan mudah mendeteksi adanya perubahan. Jangan sampai setelah jauh berubah baru kita sadar.
Bahkan perselingkuhan bisa saja terjadi dalam waktu yang lama tanpa terdeteksi sejak dini karena terlajur merasa sudah cukup mengenal pasangan kita.
Dulu saya juga sempat takabur, merasa sudah cukup mengenal pasangan. Bukankah sudah cukup di 5 tahun awal yang merupakan masa ta’aruf.
Ternyata tidak, benar bahwa 5 tahun di masa awal pernikahan kita adalah masa pengenalan, tapi bukan berarti berhenti di titik itu. Bahkan saat tahapan ke tiga pernikahan, setelah melewati fase Romantic love lalu fase Distress yaitu fase Knowlange dan Awerness.
Justru pengenalan yang lebih mendalam ada pada fase ini untuk akhirnya bisa masuk pada fase Transformation atau penerimaan dan lanjut ke fase Real love atau cinta yang mendalam.
Beberapa tahun yang silam, ketika saya lagi butuh gamis warna hitam, kemudian kakak Ipar menitipkan oleh-oleh dari Arab, gamis warna hitam, saya terima dengan hati riang.
“Alhamdulillah, kok pas sih. Lagi butuh baju warna hitam.”
Lalu suami berkomentar,” baju kok warna hitam, gelap.”
“Ini buat desscode panitia Bi,” jawabku karena memang akan terlibat dalam kepanitiaan suatu acara.
Tiga tahun lalu saat anak gadis hendak ke pesantren dan membutuhkan beberapa baju, suamipun mewanti-wanti.
“Jangan beli baju warna hitam ya, warna apa saja boleh asal jangan yang hitam.”
Dasarnya saya juga suka warna pastel sih, meski suami sering kali berkomentar.
“Warna kesukaan kok ndak jelas.”
Maksudnya warna pastel itu kurang greget..beliau suka warna yang agak terang meski bukan yang ngenjreng.
Sampai dua hari yang lalu, diangsurkannya bungkusan yang berisi jilbab warna hitam.
“Untuk Bunda nih Bi?”
“Iya...buatmu Bun.”
“Kok warna hitam, emang Bunda boleh pakai warna hitam.”
“Boleh kok, Abi suka warna hitam.”
Nah lho...lha yang dulu ngelarang pakai warna hitam siapa. Ah sudahlah gak usah diperpanjang. Tapi tetep harus memenuhi kaidah 2C: Clear and Clarify.
“Jadi Abi suka warna hitam sekarang?”
“Iya.”
“Oke, Bunda suka pakai warna hitam sekarang.”
------------------
Note :
Anda menikah dg manusia, maka pahamilah dan pelajarilah manusia yg jadi pasangan. Bahkan sampai kita meninggal pun belum semuanya bisa kita ketahui.
Anda menikah dg manusia, maka pahamilah dan pelajarilah manusia yg jadi pasangan. Bahkan sampai kita meninggal pun belum semuanya bisa kita ketahui.
#harike11
#gamelevel1
#tantangan15 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar